SITUBONDO — Proyek pembangunan Jalan Tol Probolinggo–Banyuwangi (Probowangi) kembali menjadi sorotan tajam. Komisi III DPRD Situbondo bersama Lembaga Bantuan Hukum Cahaya Keadilan Rakyat (LBH CAKRA) mendesak klarifikasi menyeluruh terhadap berbagai kejanggalan teknis yang ditemukan di lapangan, khususnya di STA 38 hingga STA 41 wilayah Banyuglugur dan Besuki.
Rapat kerja yang digelar di Ruang Gabungan DPRD Situbondo hari ini menghadirkan sejumlah pihak penting, mulai dari Plt. Kepala Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Bagian Ekbang Setda, Direktur PT Jasamarga Probowangi, kontraktor pelaksana dari PT Wijaya Karya (Wika), hingga perwakilan dari DPP dan DPC LBH CAKRA Situbondo.
Masalah yang dibahas bukan sekadar teknis biasa. LBH CAKRA menyoroti penggunaan batu bolder yang melebihi ukuran teknis serta dugaan pemasangan geotekstil yang tidak sesuai prosedur.
Perwakilan PT Wika, Riski, memang menjelaskan Pemasangan Geoteks itu Tidak semua Lokasi Menggunakan Geoteks,bahkan batu cut and fill yang digunakan telah melalui uji kepadatan. Namun, LBH CAKRA menyebut ada ketidaksesuaian antara pernyataan teknis dan realitas di lapangan.
Perwakilan dari Konsultan Pengawas mengatakan bahwa Penggunaan batu Bolder itu maksimal 60 cm
“Penggunaan Batu Bolder itu maksimal 60 cm, dan Tidak boleh lebih dan yang besar itu dipinggir” Jelasnya.
“ Fakta dilapangan Batu Bolder itu lebih dari 60cm. Ini sangat miris dan Ini bukan soal tumpukan batu. Jika material dan metode pemasangan tidak sesuai standar, maka jalan tol ini berpotensi jadi proyek gagal fungsi. Bisa jadi bom waktu!” tegas Abdul Azis SAG, perwakilan LBH CAKRA.
“Fenomena ‘tol ngantol’ bukan dongeng. Kita tidak mau Situbondo ikut dalam daftar hitam proyek strategis yang amburadul karena pengawasan lemah. Semua pihak, termasuk media dan Aktivis Situbondo wajib ikut mengawal Jangan mementingkan kepentingan sesaat karena pembangunan untuk Anak Cucu Kita,” lanjutnya.
Tidak hanya menuntut perbaikan teknis, LBH CAKRA juga meminta komitmen tertulis dari para pelaksana proyek. Hal ini dianggap penting sebagai bentuk tanggung jawab hukum dan moral.
Ketua Umum LBH CAKRA, Lutfi, bahkan mengisyaratkan langkah lebih lanjut jika tidak ada tanggapan yang memuaskan.
“Kami minta jawaban resmi dari pihak pelaksana proyek Termasuk PT. Wika, Pengawas Konsultan dan Jasa Marga dalam waktu hearing yang kami ajukan. Kami tidak akan tinggal diam. Bila ditemukan indikasi kuat adanya dugaan tindak pidana korupsi, kami akan melaporkannya ke APH. Tim investigasi dan ahli kami sudah mengantongi data lengkap dari awal proyek hingga saat ini,” tegas Lutfi. Rabu(21/05)
Sekretaris Komisi III DPRD Situbondo, Arifin, S.H., menekankan agar pelaksana proyek Tol Probowangi memprioritaskan penggunaan material dari kuari-kuari yang berada di wilayah Situbondo. Hal ini penting tidak hanya untuk efisiensi logistik, tetapi juga untuk memberikan manfaat ekonomi langsung bagi daerah.
“Kami minta agar PT Wika dan pihak terkait memprioritaskan kuari-kuari lokal Situbondo. Jangan ambil dari luar daerah kalau di sini tersedia. Ini soal keberpihakan terhadap potensi daerah sendiri,” ujar Arifin.
Lebih lanjut, Arifin juga mendesak kepada pihak manajemen konstruksi (Mencon) agar berkomitmen secara tertulis dalam hal kontribusi pajak dan retribusi, agar proyek ini bisa memberikan tambahan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Situbondo.
“Kami butuh komitmen konkret dari Mencon soal pajak dan kontribusi ke PAD. Jangan hanya merusak jalan karena angkutan proyek, tapi tidak ada imbal balik untuk daerah,” tegasnya.
Komisi III DPRD Situbondo menunjukkan sikap tegas dan mendukung penuh desakan LBH CAKRA. Mereka meminta klarifikasi teknis dan administratif dari seluruh pihak terkait, serta mengingatkan pentingnya menjaga mutu dan transparansi dalam proyek nasional ini.
Rapat ini menjadi penanda bahwa proyek-proyek besar tak boleh lepas dari pengawasan publik. Tol bukan sekadar jalan bebas hambatan, tapi simbol keadilan pembangunan dan kepercayaan masyarakat.