OPINI

Akuntabilitas Pemerintah Dalam Kasus Pengoplosan BBM

Redaksi
×

Akuntabilitas Pemerintah Dalam Kasus Pengoplosan BBM

Sebarkan artikel ini

OPINI –Dalam proses pembangunan negara berkembang seperti Indonesia, tantangan utama yang sering muncul tidak hanya berkaitan dengan keterbatasan anggaran atau kurangnya program pembangunan saja. Persoalan yang lebih krusial adalah bagaimana efektivitas penyelenggaraan pemerintahan akan dapat dijalankan secara optimal.

Pemerintahan yang baik (Good governance) sudah seharusnya menjadi fondasi utama bagi terciptanya negara yang bersih, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. Prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, efisiensi, partisipasi publik, serta supremasi hukum merupakan indikator utama dari kualitas tata kelola suatu pemerintahan.

Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa prinsip-prinsip good governance masih jauh dari harapan. Di Indonesia, banyak kebijakan publik yang dibuat secara nyata, partisipasi masyarakat masih bersifat formalitas, serta lembaga pengawas seperti Inspektorat Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Ombudsman kerap kekurangan sumber daya, baiki dari segi anggaran maupun personel yang kompeten. Bahkan, independensi lembaga-lembaga tersebut sering kali dipertanyakan akibat adanya tekanan politik yang kuat. Akibatnya, tata kelola yang lemah ini membuka ruang lebar perilaku korupsi.

Korupsi di Indonesia bukan sekedar masalah moral atau individu, melainkan cerminan dari sistem yang tidak bisa berjalan dengan semestinya. Kurangnya pengawasan, rendahnya transparansi, serta kuatnya budaya patronase politik menjadi sebuah faktor utama yang menyebabkan tata kelola publik menjadi rapuh.

Korupsi bahkan telah menjadi bagian dari budaya birokrasi yang menghambat pelayanan publik dan memperburuk ketimpangan sosial. Dengan latar belakang tersebut, penting untuk mendorong reformasi tata kelola yang menyeluruh agar korupsi dapat dikendalikan, kepercayaan publik dipulihkan, dan juga pembangunan berjalan secara berkeadilan.

Salah satu contoh nyata lemahnya tata kelola adalah pengawasan internal dan juga eksternal di BUMN seperti Pertamina, yang masih sering dianggap menjadi pemicu munculnya tindakan korupsi. Ini terlihat dalam kasus-kasus manipulasi data dan pangaturan tender yang melibatkan oknum internal dan pihak luar. Anggota Komisi VII DPR RI, Meitri Citra Wardani, telah menyebutkan bahwa lemahnya pengawasan membuat para pejabat ini merasa bebas pengambil keputusan tanpa adanya pertanggungjawaban karena absennya kontrol yang efektif.

Dalam Kebijakan Terkait, Pemerintah sebenarnya telah mengatur pengendalian distribusi BBM bersubsidi melalui Perpres No. 191 Tahun 2014, tetapi pelaksanaannya dlapangan masih lemah, terutama dalam pengawasan dan pendataan konsumen pengguna. Selain itu, dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) seharusnya menjadi dasar bagi badan publik, termasuk lembaga pengawas dan penyedia BBM, untuk menyediakan informasi terbuka tentang distribusi BBM. Namun, kepatuhan terhadap UU ini masih rendah.

Baca Juga:
Dampak Beras Oplosan, Defisit Gizi hingga Persoalan Kesehatan

Fenomena pengoplosan pertamax di indonesia mencuat sebagai isu besar sepanjang tahun 2025. Praktik ini dilakukan dengan mencampurkan bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax (RON 92) dengan BBM beroktan lebih rendah seperti penyidikan Kejaksaan Agung RI, sejumlah oknum dari PT Pertamina patra niaga dan pihak swasta terkait telah ditetapkan sebagai tersangka.

Dugaan pengoplosan ini terjadi dalam kurun waktu 2018 hingga 2023, yang diperkirakan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun pada tahun 2023 saja, dengan potensi total kerugian mencampai hampir Rp968,5 triliun dalam lima tahun terakhir (Robbani et al. 2025). Selain menyebabkan kerugian negara, masyarakat pun turut menjadi korban karena harus membayar harga pertamax yang premium, tetapi justru menerima bahan bakar dengan kualitas lebih rendah. Diperkirakan, kerugian yang dialami masyarakat mecapai sekitar Rp17,4 triliun setiap tahunnya.

Pertentangan antara penolakan PT Pertamina Patra Niaga terhadap tuduhan pengoplosan dan temuan penyidikan memperlihatkan lemahnya transparansi serta pengawasan dalam distribusi BBM. Teori tata kelola perusahaan (corporate governance) menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan internal untuk mencegah praktik kecurangan sekaligus menjaga kepercayaan publik.

Kasus ini juga memunculkan keraguan besar terhadap efektivitas penegakan hukum dan mekanisme pengawasan internal di perusahaan BUMN yang seharusnya berperan sebagai penjaga kepentingan masyarakat (Putri and Prastowo 2024).

Di negara-negara yang sedang berkembang, keberhasilan pemerintahan tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya anggaran atau banyaknya program yang dijalankan, tetapi lebih pada kualitas tata kelola yang diterapkan. Tata kelola yang baik (good governance) menuntut adanya transparansi, akuntabilitas, efisiensi, partisipasi masyarakat, serta penegakan supremasi hukum.

Sayangnya, prinsip-prinsip tersebut masi belum terwujud sepenuhnya di banyak negara berkembang, termasuk indonesia. Akibatnya, celah untuk praktik korupsi semakin terbuka lebar, sehingga muncul paradoks besar lemahnya tata kelola justru memperkuat dan mengakar budaya korupsi.

Pengoplosan BBM Sebagai Maslah Struktural

Kasus pengoplosan BBM yang diungkap kejaksaan Agung pada awal tahun 2025 menunjukkan adanya persoalan yang jauh lebih besar dalam tata kelola energi di indonesia. Ditemukan bahwa praktik pengoplosan ini dilakukan oleh oknum-oknum di anak perusahaan BUMN maupun kontraktor swasta. Tindakan tersebut bukanlah sekedar pelanggaran kecil, melainkan bagan dari praktik yang berjalan secara terorganisir dan sistematis (Sulistiono 2025).

Baca Juga:
E-katalog Mendukung Semangat "APBD Nganjuk untuk Masyarakat Nganjuk"

Isu pengoplosan pertamax menjadi perhatian serius karena lemahnya sistem pengawasan dan kontrol kualitas BBM. Praktik pencampucaran bahan bakar beroktan rendah menjadi RON 92 dilakukan untuk menekan biaya produksi dan memaksimalkan keuntungan (Aulia, Candra, and Administrasi Negara Universitas Maritim Raja Ali Haji 2025).

Korupsi di Indonesia tidak bisa lagi dipandang sebagai perilaku menyimpang individu semata saja. Fenomena seperti ini merupakan refleksi dari kegagalan sistemik dalam membangun mekanisme pengawasan yang kokoh, dalam menegakkan nilai-nilai etika publik, serta dalam menyediakan insentif yang sehat dalam birokrasi pemerintahan.

Dalam sistem yang telah rapuh, korupsi justru telah menjadi alat bagi elite politik dan ekonomi untuk mempertahankan kekuasaan serta juga akan memperluas pengaruh. Pada bagian ini, pembahasan akan lebih difokuskan terhadap isu akuntabilitas dalam kasus pengelolaan dalam pengoplosan BBM yang mencerminkan kegagalan tersebut secara nyata.

Kelemahan Pengawasan Dan Regulasi

Lemahnya mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal, di badan usaha milik negara (BUMN) seperti pertamina, menjadi salah satu faktor utama yang memicu terjadinya praktik korupsi.

Kondisi ini terlihat dari berbagai kasus manipulasi data dan pengaturan tender yang melibatkan oknum di dalam perusahaan maupun pengaruh pihak luar. Anggota komisi VII DPR RI, Meitri Citra Wardani, menyebutkan bahwa pengawasan yang tidak berjalan optimal menciptakan ruang bagi munculnya moral hazard. Dalam situasi ini, para pejabat atau pemimpin perusahaan merasa aman mengambil keputusan yang tidak bertangung jawab karena lemahnya sistem pengawasan yang seharusnya mencegah penyimpangan.

Kasus ini bermula pada 2018 ketika Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri. Aturan tersebut mewajibkan Pertamina untuk mengutamakan minyak mentah hasil produksi dalam negeri agar diolah di kilang sebelum melakukan impor. Selain itu, KKKS swasta juga diwajibkan menawarkan minyak mentahnya kepada Pertamina sebelum ekspor.

Namun, dalam praktiknya, aturan ini diduga tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dari hasil penyelidikan ditemukan adanya indikasi pengondisian dalam rapat Optimalisasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang. Akibatnya, produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya sehingga pemenuhan kebutuhan minyak mentah dilakukan melalui impor.

Baca Juga:
Kepemimpinan Inklusif dan Kaitannya dengan Keberlanjutan

Kasus dugaan korupsi di tubuh Pertamina, termasuk isu pertamax oplosan, belakangan sangat menyedot perhatian publik. Kekhawatiran masyarakat tidak hanya terkait kualitas BBM yang mereka gunakan, tetapi juga soal dugaan kerugian negara yang mencapai hampir Rp1.000 triliun.

Jika benar terbukti, maka ini bukan sekadar tindak pidana biasa, melainkan kejahatan ekonomi yang terstruktur dan sudah mengakar sejak lama, bahkan sebelum pemerintahan saat ini. Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir terlihat ada kecenderungan pemberitaan dan opini publik yang justru mengalihkan perhatian dari akar persoalan. Aktivis ’98 ITB, Khalid Zabidi, bahkan menegaskan bahwa isu BBM oplosan bukanlah inti masalah, melainkan bagian kecil dari praktik korupsi yang lebih besar.

Khalid, yang pernah menjabat sebagai komisaris di salah satu anak usaha Pertamina, memandang persoalan utama terletak pada sistem pengawasan dan tata kelola energi nasional yang lemah, bukan semata-mata masalah di rantai distribusi. Ia menyebutkan bahwa mismanajemen di Pertamina sudah berlangsung selama beberapa dekade.

“Jangan sampai masyarakat teralihkan perhatiannya. Isu oplosan BBM hanyalah puncak gunung es dari praktik korupsi yang dijalankan mafia BBM selama ini. Fokus kita harus tetap pada akar korupsinya,” ujarnya. Potensi korupsi ini bahkan diyakini terjadi bukan hanya di hilir seperti kasus BBM oplosan, tetapi juga di sektor hulu dan perdagangan internasional. Padahal sebagai perusahaan negara yang menguasai energi nasional, Pertamina seharusnya menjadi pilar utama ketahanan energi dan kesejahteraan rakyat.

Dampak sosial yang luas

Korupsi yang tumbuh subur akibat lemahnya tata kelola berdampak sangat besar pada kehidupan sosial. Ia merusak kepercayaan publik terhadap negara, melemahkan legitimasi pemerintah, memperlebar jurang ketimpangan sosial dan ekonomi, bahkan mendorong turunnya moralitas masyarakat. Kasus BBM oplosan, misalnya, tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mengorbankan kepentingan rakyat. Masyarakat sebagai pengguna BBM menjadi korban langsung karena harus menggunakan bahan bakar berkualitas rendah yang bisa merusak kendaraan bahkan mengancam keselamatan. Di sisi lain, lemahnya pengawasan dan kemungkinan adanya pembiaran memperparah ketidakpercayaan terhadap lembaga pengawas maupun aparat penegak hukum.

Kasus BBM oplosan ini juga memunculkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas tata kelola energi di Indonesia. Ketua Umum DPP KNPI, Haris Pertama, menilai praktik semacam ini menunjukkan kegagalan manajemen dalam menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Pernyataan itu menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas demi keadilan rakyat yang tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan segelintir pihak. Bahkan Prof. Dr. Henry Indraguna menyebut pengoplosan BBM sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara. Dari sisi perlindungan konsumen, Ketua BPKN RI juga menyoroti bahwa praktik ini jelas melanggar hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Perbandingan dengan hukum positif Indonesia menunjukkan bahwa keduanya memiliki tujuan yang sejalan, yakni melindungi konsumen dan mencegah terjadinya praktik kecurangan. Hukum positif juga menetapkan sanksi pidana dan administratif yang tegas sebagai upaya untuk menjamin kepastian hukum serta menjaga ketertiban dalam pengelolaan migas (Nurahman et al. 2025).

Baca Juga:
Pemkab Sleman Pastikan Ketersediaan BBM, LPG, dan Beras Jelang Idul Fitri dalam Kondisi Aman

Kasus pengoplosan BBM dan dugaan korupsi di sektor energi menunjukan betapa seriusnya persoalan integritas dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya negara. Ini bukan sekedar kelalaian teknis, tetapi sebuah kegagalan besar dalam menjaga amanah publik. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut nilai ekonomi yang sanggat besar, tetapi juga kepercayaan masyarakat yang terus terkikis.

Masyarakat sebagai pengguna BBM menjadi pihak yang paling dirugikan, baik dari segi kualitas bahan bakar yang merusak kendaraan maupun dari sisi rasa aman dan keadilan yang mereka harpkan dari negara. Ketika pelanggaran seperti ini dibiarkan atau bahkan ditutupi, maka dampaknya bisa jauh lebih besar dari pada sekedar kerusakan fisik yakni kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara dan meluasnya rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.

Untuk itu, diperlukan tindakan nyata dan serius dari seluruh pihak baik pemerintaah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat luas agar kasus seperti ini tidak terulang kembali. Pengawasan harus diperketat, transparansi harus ditegakkan, dan para pelaku harus dihukum seadil-adilnya. Hanya dengan keberanian menghadapi masalah ini secara jujur dan terbuka, bangsa ini bisa bangkit dan kembali mendapat kepercayaan dari rakyatnya.

Penulis : 1. Fini Ismail

                  2. Jessica Mega Aretama

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Prodi Ilmu Pemerintahan