MAMUJU – Warga Desa Babana, Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah, dibuat resah. Sudah hampir dua bulan, kapal perintis yang biasa bersandar di pelabuhan rakyat setempat tak lagi muncul. Pelabuhan mendadak lengang, seolah kehilangan fungsi vitalnya sebagai simpul mobilitas dan distribusi hasil bumi.
Ironisnya, meski kapal penumpang perintis menghilang, kapal-kapal pengangkut CPO (Crude Palm Oil) masih bebas hilir-mudik tanpa kendala. Fenomena ini memunculkan pertanyaan tajam dari warga.
“Kami dengar kapal perintis dilarang sandar. Tapi kapal CPO jalan terus. Apa istimewanya mereka?” ucap seorang warga yang enggan disebut namanya.
Menurut warga, kapal perintis menjadi nadi utama transportasi ke pulau-pulau seperti Kalimantan dan alat distribusi hasil bumi dari petani dan nelayan lokal. Ketidakhadirannya membuat ekonomi tersendat, apalagi akses darat di wilayah itu sangat terbatas.
Namun saat dimintai klarifikasi, Kepala Dinas Perhubungan Sulawesi Barat, Maddareski Salatin, justru melempar tanggung jawab. Ia menyebut pelabuhan Babana di bawah kewenangan Pelabuhan Belang-Belang.
“Itu bukan kewenangan saya, silakan ke Belang-Belang,” katanya singkat, Senin (30/6/2025).
Ia juga menepis dugaan ada hubungan antara aktivitas kapal CPO dan dihentikannya kapal perintis. Menurutnya, keputusan itu didasarkan pada laporan jumlah penumpang yang terlalu minim.
“Berdasarkan laporan dari Belang-Belang, jumlah penumpangnya kecil. Itu jadi alasan utama,” jelasnya.
Pernyataan itu tak lantas menenangkan warga. Justru semakin menguatkan kesan bahwa pelayanan publik sedang dikalahkan oleh kepentingan komersial.
“Kalau cuma karena sepi penumpang, kenapa tidak dicari solusinya? Ini bukan soal bisnis semata, ini soal hidup masyarakat,” tegas seorang tokoh masyarakat setempat.
Hingga kini, belum ada kejelasan dari pihak Pelabuhan Belang-Belang soal keputusan tersebut. Warga mendesak pemerintah dan instansi terkait untuk turun tangan, memulihkan akses kapal perintis yang telah menjadi urat nadi kehidupan pesisir.