OPINI

KIP Tak Tepat Sasaran, Pemerintah Daerah Harus Turun Tangan

Redaksi
×

KIP Tak Tepat Sasaran, Pemerintah Daerah Harus Turun Tangan

Sebarkan artikel ini

OPINI — Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial di sektor pendidikan. Program ini didesain agar anak-anak dari keluarga kurang mampu dapat terus mengenyam pendidikan tanpa harus terbebani oleh biaya sekolah. Idealnya, KIP adalah perwujudan nyata dari cita-cita negara untuk memastikan setiap anak Indonesia memiliki hak atas pendidikan yang layak.

Namun sayangnya, dalam implementasinya di lapangan, program ini sering kali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Fenomena yang terjadi justru banyak anak dari keluarga mampu yang menerima bantuan ini, sementara anak-anak dari keluarga miskin yang seharusnya sangat membutuhkan malah terabaikan.

KIP merupakan program dari pemerintah yang ditujukan untuk siswa yang kurang mampu dalam perekonomian. Tujuannya adalah memberikan keadilan sosial di sektor pendidikan dan menjamin bahwa siswa dari kalangan tidak mampu bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa terbebani biaya. Ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan negara maju dan sejahtera, karena pendidikan adalah hak semua warga negara, khususnya anak-anak.

Namun dalam pelaksanaannya di lapangan, program ini kerap kali melenceng dari tujuan awalnya. Banyak penerima KIP justru berasal dari keluarga yang berkecukupan, bukan dari golongan miskin. Akibatnya, program ini menjadi tidak efisien dan jauh dari prinsip keadilan.

Kasus Chantika Mutiara menjadi cerminan nyata dari kegagalan sistem pendataan dan distribusi KIP. Chantika berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi sangat terbatas; orang tuanya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ironisnya, ia tidak pernah tercatat sebagai penerima KIP, sehingga harus berjuang sendiri membiayai pendidikannya. Di sisi lain, ada siswa-siswa dari keluarga pegawai negeri atau pengusaha yang justru rutin menerima KIP. Ketimpangan ini menyoroti permasalahan sistemik dalam pelaksanaan program tersebut.

Baca Juga:
Sentuhan Inklusif Dewanti Rumpoko: Menata Masa Depan Kota Batu dengan Harmoni dan Kolaborasi

Salah satu penyebab utama ketidaktepatan sasaran KIP adalah kualitas data yang digunakan sebagai dasar penentuan penerima. Banyak daerah masih menggunakan data lama yang belum diperbarui dan tidak merepresentasikan kondisi riil masyarakat saat ini. Pendataan pun seringkali tidak melalui verifikasi lapangan yang menyeluruh, sehingga akurasinya diragukan.

Selain itu, lemahnya pengawasan dari instansi terkait membuat ketidaktepatan ini terus berlangsung tanpa tindakan korektif. Bahkan, tidak jarang terjadi manipulasi data oleh oknum tertentu demi keuntungan pribadi atau kelompok, yang jelas-jelas merugikan masyarakat miskin yang seharusnya menjadi prioritas utama penerima bantuan.

Dampak dari ketidaktepatan sasaran KIP sangat terasa di lingkungan sekolah dan masyarakat. Anak-anak miskin yang seharusnya menerima bantuan justru harus menanggung sendiri beban biaya pendidikan, bahkan beberapa terpaksa putus sekolah. Di sisi lain, muncul kesenjangan sosial ketika siswa dari keluarga mampu menikmati fasilitas bantuan, sementara yang membutuhkan justru terpinggirkan. Hal ini menimbulkan rasa tidak percaya terhadap pemerintah dan program-program sosial yang seharusnya membantu rakyat.

Dalam kondisi ini, peran pemerintah daerah menjadi sangat penting dan krusial. Sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan di lapangan dan pihak yang paling dekat dengan masyarakat, pemerintah daerah seharusnya mampu melakukan validasi dan verifikasi data secara lebih akurat. Sayangnya, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal.

Pemerintah daerah perlu melakukan pendataan ulang dengan melibatkan berbagai pihak seperti sekolah, RT/RW, dan masyarakat setempat agar data penerima benar-benar valid. Pengawasan distribusi bantuan pun harus dilakukan ketat, misalnya melalui pembentukan tim pengawas aktif di tingkat desa atau kelurahan. Pemerintah daerah juga harus membuka ruang pengaduan dari masyarakat jika ditemukan ketidaktepatan data penerima.

Pemanfaatan teknologi juga sangat dibutuhkan untuk memperbaiki sistem pendataan. Integrasi data penerima KIP dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) harus dilakukan secara berkala dan transparan, agar setiap perubahan kondisi ekonomi masyarakat dapat terpantau secara cepat dan tepat. Hal ini akan membantu menghindari kasus keluarga mampu yang tetap menerima bantuan.

Baca Juga:
Di Hadapan Mahasiswa UNUSA, Menteri Nusron Nyatakan Kebijakan Plasma Ada untuk Pemerataan Ekonomi

Pemerintah juga harus tegas memberikan sanksi kepada oknum yang terbukti melakukan manipulasi data atau menyalahgunakan bantuan. Jika langkah-langkah ini diambil, maka program KIP akan kembali pada jalurnya: membantu anak-anak miskin agar tetap bisa sekolah dan menggapai cita-cita mereka.

KIP seharusnya menjadi simbol keadilan sosial dan bentuk nyata kepedulian negara terhadap warganya yang paling rentan. Namun, apabila pelaksanaannya masih diliputi ketidaktepatan dan ketidakadilan, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin terkikis.

Kasus seperti Chantika Mutiara menjadi pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah, untuk memastikan bahwa bantuan sosial benar-benar tepat sasaran dan memberi manfaat bagi mereka yang membutuhkan.

Pendidikan bukanlah sekadar hak yang bisa dipermainkan, tetapi merupakan fondasi utama untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi bangsa. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah daerah benar-benar serius mengambil peran dalam mengawasi dan memperbaiki pelaksanaan program KIP agar keadilan sosial bisa benar-benar terwujud.

 

PENULIS : Zayantiizmawardhani