PASANGKAYU – Perseteruan agraria antara warga dan perusahaan sawit di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, kembali memanas dan langsung mendapat respons serius dari Wakil Gubernur Sulbar, Salim S. Mengga. Dalam kunjungannya ke Dusun Lembah Harapan, Desa Jengeng Raya, Kecamatan Tikke Raya, Selasa (13/5/2025), Salim menegaskan bahwa konflik ini tak boleh dibiarkan berlarut.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut Bupati Pasangkayu Yaumil Ambo Djiwa, jajaran BPN, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sulbar, aparat TNI/Polri, serta tokoh masyarakat. Dalam kesempatan itu, Salim menegaskan bahwa pemerintah hadir bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk mencari solusi yang adil dan tuntas.
“Saya tidak mau dengar ini masalah susah diselesaikan. Harus bisa diselesaikan. Kita ini negara hukum, tak boleh ada yang semena-mena,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan agar tak ada aparat atau pejabat yang bermain mata dengan perusahaan. Bila ditemukan pelanggaran, pengusaha akan ditindak tegas. Sebaliknya, Salim meminta warga tak memusuhi perusahaan selama operasional dilakukan sesuai aturan.
Bupati Yaumil menyoroti bahwa akar masalahnya ada di tingkat pusat, khususnya jajaran direksi perusahaan di Jakarta.
“Yang perlu diketuk itu direksi di pusat. Kalau pimpinan di daerah tidak punya wewenang ambil keputusan,” ungkapnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Yani Pepy menuturkan, hampir seluruh perusahaan sawit di Pasangkayu diduga melampaui batas izin Hak Guna Usaha (HGU), hingga menyebabkan tumpang tindih dengan 1.372 sertifikat hak milik warga. Bahkan, sejumlah fasilitas umum seperti Polsek, sekolah, dan puskesmas, masuk ke dalam area HGU—termasuk 90 persen wilayah Desa Pakawa.
Yani juga menyoroti kekeliruan prosedural dalam penerbitan HGU. Ia menjelaskan bahwa pengukuran BPN dilakukan pada 1994, sedangkan kawasan hutan baru dilepaskan pada 1996. Ini disebutnya sebagai pelanggaran tata kelola lahan yang memperumit sengketa.
“Perusahaan membuka lahan lebih dulu tanpa izin, baru kemudian mengurus legalitas. Setelah izin keluar, ternyata luasan HGU lebih kecil dari lahan yang sudah dibuka,” paparnya.
Digitalisasi peta pada 2017 juga turut memicu kekacauan administrasi, karena konversi dari peta manual memicu ketidaksesuaian batas wilayah.
Sebagai langkah penyelesaian, Wagub Salim memerintahkan seluruh instansi terkait termasuk BPN, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, dan Biro Hukum untuk segera melakukan kajian mendalam dan bertindak berdasarkan hasilnya. Ia menegaskan, penyelesaian konflik harus dilakukan tanpa tebang pilih.