OPINI — Kasus pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang terungkap pada awal 2025 mencuat sebagai skandal besar di sektor energi Indonesia, dengan perkiraan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun (Hartanto et al. 2025). Praktik ilegal ini melibatkan anak perusahaan BUMN dan kontraktor swasta, serta mencerminkan lemahnya regulasi dan pengawasan distribusi BBM di tengah tingginya kebutuhan energi nasional.
Ketidakhadiran regulasi baru sejak putusan Mahkamah Konstitusi 2012 hingga tumpang tindih kewenangan lembaga pengawas seperti BPH Migas, Ditjen Migas, dan Lemigas menunjukkan adanya celah struktural yang menghambat tata kelola energi yang transparan dan akuntabel.
Dalam perspektif teori kebijakan publik, transparansi merupakan pilar utama good governance untuk menjamin keterbukaan informasi, akuntabilitas pengambilan keputusan, dan partisipasi masyarakat. Namun, dominasi kepentingan elite politik dan ekonomi berpotensi memicu regulatory capture, sehingga pengawasan kehilangan independensi. Oleh karena itu, skandal pengoplosan BBM menegaskan pentingnya pembenahan tata kelola energi melalui reformasi regulasi, penguatan pengawasan, dan penerapan transparansi secara menyeluruh agar praktik serupa tidak terus terulang.
KAJIAN TEORI
Transparansi merupakan prinsip inti dalam good governance yang menjamin keterbukaan informasi, akuntabilitas pengambilan keputusan, dan partisipasi masyarakat. Dalam konteks kebijakan publik, transparansi memungkinkan masyarakat untuk mengetahui, mengawasi, dan menilai proses serta hasil kebijakan yang dibuat pemerintah. Menurut ISO 31000 (2018), transparansi juga menjadi prasyarat mutlak dalam manajemen risiko karena berkaitan langsung dengan efektivitas pengendalian internal dan pencegahan terhadap kecurangan dan penyalahgunaan wewenang.
Di sisi lain, teori ekonomi politik menyatakan bahwa kebijakan publik dalam sektor strategis seperti energi sangat rentan terhadap infiltrasi kepentingan politik dan ekonomi elite. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai regulatory capture, yaitu kondisi ketika regulator lebih berpihak pada kepentingan korporasi daripada kepentingan publik. Maka, regulasi dan pengawasan yang semestinya independen justru dimanipulasi untuk melayani segelintir kelompok yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar.
PEMBAHASAN
Regulasi Energi yang Tidak Transparan dan Tumpang Tindih
Penelitian (Aulia and Candra 2025) menunjukkan bahwa lemahnya regulasi BBM di Indonesia menciptakan banyak celah hukum yang dimanfaatkan pelaku untuk melakukan praktik pengoplosan secara sistematis. Minimnya transparansi dalam pembentukan kebijakan harga dan distribusi BBM menyebabkan masyarakat tidak memiliki akses terhadap informasi penting yang semestinya bersifat publik.
Lebih parah lagi, mekanisme pengawasan yang seharusnya menjadi benteng terakhir justru sangat lemah. Hanya sekitar 150-200 sampel BBM yang diuji setiap tahum, jauh dibandingkan Malaysia yang mampu menguji hingga 3.000 sampel. Pengawasan pun tersebar ke berbagai lembaga yang tidak memiliki sistem koordinasi yang jelas. Akibatnya, ketika terjadi pelanggaran, tidak ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab secara institusional.
Penyalahgunaan Wewenang dan Kegagalan Manajemen Risiko
Hasil riset (Yovita et al. 2025) menemukan bahwa di Pertamina terdapat kelemahan besar dalam sistem kontrol internal, lemahnya fungsi audit, serta tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan. Tekanan pencapaian target, kompleksitas organisasi, dan kelemahan pengendalian risiko memungkinkan individu-individu di posisi strategis melakukan manipulasi tanpa bisa dideteksi secara dini.
Kasus oplosan BBM tidak semata-mata pelanggaran teknis, tetapi lebih jauh merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip tata kelola yangs sehat. Risiko reputasi, kerugian keuangan, dan dampak sosial yang ditimbulkan membuktikan bahwa sistem pengawasan yang ada hanya bersifat simbolik dan belum menyentuh akar permasalahan struktural.
Oligarki Energi dan Pembungkaman Transparansi
Praktik korupsi dan pengoplosan BBM tidak dapat dilepaskan dari pengaruh oligarki energi di Indonesia. Banyak kebijakan energi seperti penghapusan subsidi atau penyesuaian harga BBM lebih menguntungkan kelompok elite daripada masyarakat luas. Dominasi segelintir pihak dalam perumusan kebijakan menjadikan proses pengambilan keputusan tidak inklusif dan tidak transparan.
Keterlibatan BUMN dalam skandal ini juga membuktikan bahwa korporasi milik negara belum menjalankan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (corporate governance). Di tengah tuntutan untuk menjaga pelayanan publik dan keberlanjutan energi, perusahaan justru dijadikan alat kepentingan bisnis dan politik segelintir pihak yang memiliki akses kekuasaan.
Transparansi sebagai Solusi
Transparansi bukan sekedar formalitas administratif seperti laporan tahunan. Transparansi harus hadir dalam setiap tahap kebijakan, mulai dari perumusan, implementasi, hingga evaluasi (Angel Siti Fatimah and Aini Rahmah 2022). Pemerintah perlu membuka data harga pokok BBM, jalur distribusi, hingga kinerja lembaga pengawas agar publik dapat melakukan pengawasan langsung. Di era digital, data semacam ini dapat disediakan secara daring dan real-time.
Selain itu, mekanisme pelaporan masyarakat terhadap penyimpangan harus diperkuat dengan sistem perlindungan pelapor (whistleblower). Jika transparansi tidak menjadi fondasi utama dalam tata kelola energi, maka upaya pemberantasan korupsi hanya akan sekedar pencitraan (Zulaiha 2016).
PENUTUP
Skandal pengoplosan BBM yang melibatkan aktor-aktor besar seperti anak perusahaan BUMN dan kontraktor swasta telah mengungkap lemahnya tata kelola energi nasional yang tertutup, tumpang tindih, dan rentan intervensi kepentingan. Regulasi yang tidak adaptif, lemahnya pengawasan, serta dominasi elite dalam sektor strategis membuktikan bahwa transparansi belum menjadi komitmen nyata pemerintah.
Jika pemerintah tidak segera melakukan reformasi struktural, memperbarui regulasi, memperkuat sistem pengawasan, dan membangun keterbukaan informasi, maka praktik ilegal seperti ini akan terus terjadi dan semakin sulit diberantas. Masyarakat berhak tahu, mengawasi, dan memastikan bahwa sektor energi dikelola bukan untuk segelintir elite, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Luisa Alya Revaline
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang