Portal Jatim

UU No.9 Tahun 1998, Pedoman Wajib dalam Aksi Demonstrasi agar Tak Kebablasan

Redaksi
×

UU No.9 Tahun 1998, Pedoman Wajib dalam Aksi Demonstrasi agar Tak Kebablasan

Sebarkan artikel ini
Guru Besar Hukum Universitas Brawijaya (UB) Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H, M.S.

KOTA MALANG – Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak fundamental setiap warga negara dalam negara demokrasi. Namun, hak tersebut bukanlah tanpa batas. Ada aturan hukum yang wajib diikuti agar aspirasi tidak berubah menjadi pelanggaran.

Hal itu disampaikan Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.S., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), saat menyoroti maraknya demonstrasi yang berujung kericuhan.

“UU No. 9 Tahun 1998 tidak hanya menjamin hak, tetapi juga menetapkan batasan dan kewajiban. Mulai dari syarat administratif hingga sanksi jika terjadi pelanggaran. Ini sistem norma yang harus dipahami semua pihak,” tegas Prof. Nyoman, Rabu (14/5/2025).

Menurutnya, lokasi dan waktu aksi sudah diatur ketat. Aksi tidak boleh dilakukan di tempat strategis seperti istana, rumah sakit, tempat ibadah, instalasi militer, atau fasilitas publik lainnya. Demonstrasi juga sebaiknya dihindari saat hari libur nasional dan hari besar keagamaan.

“Kebebasan berpendapat harus dibarengi akal sehat. Kalau aksi berubah anarkis, negara wajib menegakkan hukum. Tidak ada toleransi untuk kekerasan dan perusakan,” ujarnya.

Prof. Nyoman juga mengingatkan bahwa unjuk rasa yang merusak fasilitas umum, menyerang aparat, atau menyebar provokasi di media sosial bisa dikenai sanksi pidana, termasuk dari KUHP, UU ITE, hingga UU Lalu Lintas.

Senada dengan itu, Prof. Dr. H. Maskuri, M.Si., akademisi sekaligus tokoh pendidikan, mendorong agar penyampaian aspirasi dilakukan secara elegan dan konstruktif, bukan dengan cara konfrontatif.

“Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 menekankan kewajiban untuk menghormati hak orang lain dan menjaga ketertiban. Jangan sampai demonstrasi justru melukai tujuan demokrasi itu sendiri,” ungkapnya.

Menurut Prof. Maskuri, audiensi ke DPRD atau lembaga terkait lebih produktif daripada aksi turun ke jalan yang berisiko tinggi. Ia menilai, aspirasi bisa lebih berdampak jika disalurkan melalui jalur legal dan institusional.

Baca Juga:
Gabungan Aktivis Desak Kejari Pasuruan Usut PKBM Hingga Tuntas, Kajari: "Dua Bulan Lagi, Hasilnya Akan Terlihat"

Baik Prof. Nyoman maupun Prof. Maskuri menegaskan bahwa aparat kepolisian memiliki peran strategis dalam menjaga agar aksi berjalan aman dan tertib. Polisi bukan hanya penjaga, tetapi fasilitator demokrasi yang memastikan suara rakyat tetap dalam rel hukum.